Last Exit From Autocracy

The most important ballot question in 2020 is not Joe Biden versus Donald Trump, or Democrat versus Republican. The most important question is: Will Trump get away with his corruption — will his…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Sebuah pertemuan dan seblak di malam hari.

Kalau ditanya bagaimana perasaan Malih menjadi anak tengah diantara kakak beradik Rajadin, maka jawabannya sulit. Bagaimana juga Bang Jamal itu keras kepala dan Jeki adalah duplikatnya, karena itu mungkin dunia perlu orang-orang sepertinya, yang siap menjadi penengah ketika dua orang yang sama tersebut harus disatukan karena satu atau lain hal.

Bukannya besar kepala atau hanya menilai secara mandiri dari prespektif diri sendiri, tapi di antara anak Rajadin yang lain Malih otomatis menjadi manusia paling sabar. Paling penurut ketika dituntut, paling tak macam-macam (tapi bukan berarti dia tidak bisa melakukan sesuatu hal seperti merokok atau yang lainnya), dan juga yang paling berbeda dari Bang Jamal dan Jeki.

Ya, kita butuh satu orang waras disini kalau saja terjadi perang saudara. Dan sebab dia jadi orang waras, maka dirinya sekarang berada di sebuah kafe anak muda, tepatnya di daerah Senayan, atas utusan dari si sulung Rajadin.

“Nih flashdisknya, nanti disana yang baik sama adeknya temen gua.”

“Iya elah Bang, bawel amat dah perasaan.”

“Gue ga tau yang mana, tapi namanya Bulbul atau ga Binbin, oke?”

“Iya siap Bang, siap banget ini gua dah tinggal ketemu doang.”

“Yaudah sono, buruan Lih, itu juga katanya Haya adeknya udah nyampe.”

Haya? Kalau asumsi Malih paling itu nama manusia yang berhasil bikin abangnya uring-uringan 6 bulan lalu. Malih gak tau sih kronologi jelasnya, dia cuman dapat info hasil bergosip dengan Jeki dan menyimpulkan bahwa, cowok tersebut adalah orang pertama yang secara tidak langsung menolak Abangnya dalam bentuk Jeha.

Dan karena si Haya Haya itu juga, dia jadi harus merelakan tayangan bola-nya. Ada rasa gak terima sih, apalagi dia juga sekarang jadi harus susah payah main tebak-tebakan bagaimana paras si adik haya, atau bagaimana rupanya karena abangnya itu sama sekali ga memberi clue apapun. Bodoh.

Satu hal lagi yang seharusnya sudah kalian tahu bahwa si anak kedua Rajadin ini tipe yang mengikuti, alias pertemuan atas dasar pengembalian flashdisk ini endingnya tergantung siapa lawan bicaranya. Bisa saja jadi seru dan memberikan kesan baik, atau bahkan flat sampai bisa memberikan kesan buruk? Tentu, hal satu itu sangat mungkin terjadi.

“Ini Mavi bukan?” Sebuah suara berhasil membuat langkah Malih terhenti disamping sebuah meja kafe yang menghadap kolam ikan dengan lampu-lampu hias dipinggirnya.

“Bulbul ya? eh— Binbin?”

Malih rasanya mau jeburin diri ke kolam saking malunya karena kelihatan bodoh sekarang. Apalagi saat dia melihat wajah lawan bicaranya itu menekuk alisnya bingung. Salah apalagi dia sekarang?

“Iya ini Binbin, Bintang sih lebih tepatnya.”

“Oh iya Bintang,” Malih cuman punya muka tebal sekarang, sekaligus merapal berbagai makian untuk abangnya.

Setelah pria didepannya ini mempersilahkan duduk, Malih berkesempatan untuk dapat menelisik cowok berhoodie didepannya lebih jelas.

Satu kata aja sih, tampan cenderung cantik.

Seleranya Jeha alias Abangnya emang ga perlu diragukan lagi. Ya meskipun Malih belum pernah melihat wajah si Haya-Haya, tapi bisa di tebak kalau parasnya mungkin ga akan jauh beda dengan Bintang karena mereka sedarah.

“Kok tadi tau nama panggilan deket gue?” tanya Bintang sambil tersenyum manis, dan sekali lihat Malih bisa tau kalau Bintang masuk kategori jenis orang yang gampang disukai siapapun.

“Iya.” Malih menggaruk tengkuknya, “Sebenernya tadi Abang gue cuman bilang kalau nama temen adiknya itu Bulbul atau ga Binbin.”

Makhluk didepannya itu hanya membulatkan mulutnya lucu, gemes anjinglah. “Tadi lama nunggunya ya?”

Bintang mengangguk polos, “Iya, banget.”

Buset dah, padahal Malih niatnya cuman basa basi aja, entah jujur atau memang menyindir tapi yang jelas dirinya cukup merasa bersalah sekarang.

“Yah... maaf Bintang, terus gimana?”

Dan Bintang malah menggelengkan kepalanya disertai cengiran lucu, “Ga gimana-gimana dan gapapa juga, santai Mavi.” Kayanya emang kelewat polos sekaligus asal nyeplos aja dah anaknya.

“Mau makan ga, Bintang? Pesen aja kalo mau.”

Anak itu menggeleng, “Ga laper kok, Mavi mau minum apa? Tadi ga gue pesenin soalnya takut lo gak suka.”

“Iya, gapapa, Bin. Lagian gue ga aus.”

Malih mulanya akan menyudahi pertemuan mereka dengan mengembalikan flashdisk, namun urung ketika melihat Bintang yang melihat ponselnya dengan wajah murung.

Anak itu kayanya lagi ngeliatin vidio seblak di tiktok. Permasalahannya adalah wajah anak itu keliatan... nelangsa banget? Pengen banget? Sedih banget? Gak tau itu anak kenapa, tapi Malih mana tega jadinya.

“Lagi kepengen seblak, Bin?”

Dan mata itu menatap Malih berbinar. Mengangguk semangat sampai rambutnya bergoyang lucu. Sebuah alasan Malih secara spontan mengucapkan kalimat selanjutnya, “Mau jajan seblak ga? Gue traktir, gue tau seblak yang enak dimana. Tapi kalo gama—”

“MAUUU!!”

Dan Malih tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, “Yaudah ayo.”

“Sebentar, kita mau naik apa? Gue mau bilang supir gue dulu.”

“Naik motor gapapa?”

Penolakan sepertinya wajar kalau soal anak orang kaya, tapi alih-alih menggeleng, sang pemuda malah mengangguk dengan jari yang membentuk kata ‘ok’. Lantas setelah itu, Bintang menghubungi seseorang melalui handphonenya, “Mang Aji, aku pulang bareng temen aku ya? Mau jajan dulu soalnya.”

Temen. Lucu sih. Gimana pemuda yang kini sekarang sedang menggandeng tangannya ke parkiran menyimpulkan dengan mudah ikatan pertemanan padahal belum genap satu jam mereka bertemu.

“Pulang sama gue juga gapapa,” Malih berbicara tanpa suara, memberikan solusi yang gak begitu buruk dilakukan dari pada supir anak ini harus kerepotan nantinya.

Bintang menggeleng heboh dengan tangan masih memegang handphone ditelinganya. “Nanti papi gue ngamuk kalau ga pulang bareng Mang Aji,” balas dia juga tanpa suara.

Lucu. Bagaimana anak itu berdebat dengan supirnya sampai-sampai mau minggat dari rumah. Lucu. Bagaimana anak itu sekarang protes ketika Malih membawa motor ninjanya dengan pelan padahal dia sudah pegangan erat. Lucu lagi. Ketika anak itu mengoceh saat sedang mengantri karena kedai seblak yang kebetulan ramai, tapi tetap bersikeras menunggu padahal sudah Malih ajak pulang.

“Muhun, ieu seblak buat Mas Mas ganteng, hampura ya Mas, ngantrinya lama.” Kang Abdi— penjual seblak datang membawa dua mangkuk seblak pedas yang masih mengepulkan asap.

“Gapapa atuh, Kang.” Malih menyahut seraya membawa semangkuk seblak mendekati Bintang yang sudah siap dengan sendok dan garpunya.

“Okelah kalau gitu Mas.”

Dan atensi Malih kembali berpusat pada pemuda didepannya. Yang kini sedang sibuk menganalisis jenis makanan apa saja yang ada didalam mangkuknya itu dengan bibir melengkung senang.

“Ga sia-sia Mav, kita nunggu lama.” Bintang memulai acara mencicipi seblaknya dengan hati-hati karena panas.

“Iya dah ga sia-sia, yang penting mah seblak didepan mata ya, Bin.”

“Iyalah, nunggu sejam juga gue jabanin beneran,” Bintang berbicara dengan mulutnya yang penuh, mengundang tawa lepas dari Malih diantara berisiknya kota Jakarta malam itu.

“Kalau makan jangan sambil ngomong Bin, jadi jelek.”

Bintang berhenti, menelan kerupuk di mulutnya dengan setengah hati, “Lo mau disembur kuah seblak ya, JELEK?”

Dan tawa Malih kembali pecah malam itu, membiarkan seblaknya mulai mendingin karena sejak tadi tak disentuh. Bagaimana malam itu keduanya mengobrol seru sampai kehabisan waktu. Dengan Bintang yang melahap seblak sambil merengut dan mendumal tentang Malih yang tak berhenti meledeknya atau sekedar karena rasa pedas pada makanannya.

“Kita kapan-kapan harus kesini lagi sih, Mav.”

“Iya-iya terserah Bintang.”

“Boleh panggil Binbin kok sekarang.”

Malih tertawa, “Oke, Binbin.”

“Okay, Mavi!”

Lucu, bagaimana mereka mengakhiri malam itu dengan sebuah janji yang otomatis dan spontan dilepaskan begitu saja atas dasar perasaan senang masing-masing.

Add a comment

Related posts:

Your Business should be on Streaming TV

According to a CNBC account survey, 57 percent of the public has had some form of streaming service, and this number is rapidly growing. But does this all mean to you? Well, this enables businesses…

Pepemon world.

Pepemon World is a groundbreaking new blockchain-based game that is taking the world by storm. This exciting new game combines the fun of collecting and battling monsters with the security and…

How to Choose the Right Project Management Tool

Whether a business is developing a cutting-edge website or building a new facility, a project’s myriad parts need to come together. Project management tools provide centralized methods of assigning…